Friday, January 1, 2021

Review Buku untuk Pemula Bersama iPusnas


Flyer talk show

Hai hai, Sahabat Desi's corner. Kali ini aku mau membahas tentang live IG TV yang diadakan oleh iPusnas tanggal 30 Desember 2020 lalu. Talk show yang diadakan pada hari Rabu lalu itu, iPusnas mengangkat bahasan tentang Review Buku Untuk Pemula. 

Tapi aku nonton talk show tersebut sehari setelah acara. Telat baca info di IG nya. Itu juga nontonnya sambil menyetrika. Emak-emak nggak mau rugi. Kalau sambil gosok, kan, setrikaan dapat, ilmu dapat, dan nggak terlalu berasa capek juga nyetrikanya.

Acara talk show yang berlangsung hampir satu jam itu dipandu oleh Kevin. Mau sebut nama panjangnya takut salah. Ngomongnya kecepetan, jadi nggak jelas aku menangkap kata kedua di belakang nama Kevin.

Haris Shibgatullah muncul beberapa menit kemudian setelah acara dibuka. Dari obrolan pembawa acara dengan narasumber. Didapatlah informasi bahwa Harris sedang menyusun tesis S2 tentang Studi Amerika di Universitas Indonesia (UI).

Jadilah sebelum memasuki inti talk show tentang review buku. Kevin dan Haris membuka bincang-bincang tentang mengapa Haris mengambil kuliah S2 nya di bidang Studi Amerika.

Narasumber sekaligus booktuber ini memberi alasan bahwa dia tertarik dengan kebudayaan Amerika. Padahal Amerika, kan, nggak punya kebudayaan asli? Pertanyaan dilontarkan kembali oleh Kevin.

Jawaban Haris membuatku manggut-manggut. Ternyata karena penduduk imigran Amerika lah yang menjadikan budaya Amerika itu menarik. Keberagaman penduduk dari berbagai banyak negara, membentuk suatu budaya campuran. Hmm, jadi bisa disebut asli nggak, tuh, budaya Amerika? 

Baca Juga: Blogger Wajib Menulis Sesuai Kaidah SEO (ulasan even)

Review Buku Untuk Pemula

Quote bukub

Obrolan pembuka mengalir begitu saja dengan menarik. Pembawa acara, Kevin tahu-tahu sudah memasuki tema inti talk show. Kerenlah ini pembawa acaranya. Nggak berasa ada perpindahan topik. Bisa aja nyambungin obrolan Amerika ke buku. 

Awalnya Kevin bertanya tentang keberagaman dan perkembangan buku di Amerika. Pembawa acara dari pihak iPusnas ini meminta tanggapan Booktuber yang pernah menjuarai review buku yang diadakan oleh penerbit KPG, tentang buku yang diadaptasi ke film dan sebaliknya.

Jawaban pemilik akun @kanvaskata.books menjawab dengan bijak. Menurut Haris bahwa film dan buku adalah saling melengkapi. Saling melengkapi dalam hal imajinasi. Buku yang diadaptasi ke film, maka akan melengkapi imajinasi kita para pembaca.

Kita pun disini menjadi belajar, sejauh mana kreativitas sineas dalam menerjemahkan buku ke dalam film. Ini menurutku, ya. Jawaban Haris kupikir-pikir betul juga.

Dia tidak menyudutkan orang-orang yang lebih suka menonton film dibanding membaca buku atau kebalikannya. Nggak jauh-jauh seperti aku contohnya. Terkadang aku lebih suka membaca bukunya dibandingkan dengan menonton film yang telah diadaptasi dari buku tersebut.

Seperti film Harry Potter dan serial Narnia yang lebih kupilih untuk menonton filmnya dibanding membaca buku yang tebal haha.

Dari obrolan inilah, lalu Kevin bertanya tentang cara mereview buku yang baik. Terutama bagi pemula macam aku. Aku tuh, kalau menulis review buku, kok, nggak menggigit gitu. Kurang gereget dan nggak bikin penasaran orang pingin baca buku yang aku baca itu.

Begini cara membuat review buku yang aku tangkap:

1. Saat membaca buku, catat poin penting yang ingin kita tulis nanti.

2. Tulis langsung pada bagian cerita yang membuat kita terkesan. 

3. Catat pendapat kita pada bagian cerita yang membuat kita penasaran atau menjadi pertanyaan.

4. Jangan menunda lama untuk mereview buku.


Nanti dicoba cara-cara di atas, ah. Selama ini aku, kan, nggak pernah catat atau tulis poin-poin penting pas baca buku. Langsung aja tancap gas menulis. Makanya di pertengahan menulis, terkadang aku tuh, suka bingung dan kehilangan arah.

Book Shaming


Acara live IG tv
Ketahuan banget kalau ilmu perbukuan aku masih cetek banget. Istilah beginian aja baru tahu. Selain body shaming yang ditujukan pada seseorang. Buku juga ada istilah shamingnya, yaitu book shaming. 

Bingung juga, sih, perundungan seperti apa terhadap buku itu. Menjelek-jelekan buku yang kayak gimana. Menjelekan isi cerita atau menghina penampilan fisik buku.

Cowok yang bergabung dengan booktuber tahun 2017 ini menjelaskan tentang book shaming. 


Book shaming itu adalah:

1. Merendahkan preferensi bacaan seseorang

Misal, aku tuh, masih suka membaca komik Jepang atau jenis komik lainnya. Terkadang aku pun suka membaca buku anak dari Arleen, Clara Ng, Wulan MP, atau penulis lainnya. Lalu ada teman yang merendahkan bacaan aku dengan berkata, "Ih, kok, bacaannya udah berumur yang kayak gituan, sih?"

Nah, ini namanya book shaming. Kita nggak boleh memandang jenis bacaan buku seseorang. Bisa aja, kan, dia sedang membuat riset tulisan atau sedang ingin relaks dengan bacaan-bacaan beratnya. Who knows?

2. Merendahkan preferensi penulis seseorang

Misal, aku merasa penulis favoritku adalah yang terbaik. Sedangkan penulis bacaan Sahabat Desi's corner dimataku itu ora mutu. Perilaku ini juga termasuk book shaming, karena aku hanya melihat dari sosok penulis saja.

Padahal pembaca yang bijak dan baik adalah tidak hanya memandang buku dari sisi penulisnya saja. Tapi juga isi buku menjadi pandangan penting bagi seorang pembaca.

Apa kabarnya kalau misalnya aku pendatang baru dalam menulis. Lalu pas bukunya mejeng di toko buku, orang memandang rendah karena aku bukan penulis beken seperti Laila S Chudori atau Ahmad Tohari.

3. Merendahkan isi buku yang dibaca seseorang

Misal, ada seseorang yang berkata, "cerita dalam buku itu, kan, jelek. Nggak bagus. Kok, bisa-bisanya, sih, lo baca yang jalan ceritanya nggak jelas. Mending lo baca buku yang lagi gua baca, nih. Bermutu. Penulisnya sastrawan dari Amerika."

Duh, semoga Sahabat Desi's corner terhindar dari perlakuan dan perbuatan seperti itu, ya. Jadi ingat waktu ikut kelas kepenulisan fiksi. Mentorku Hani Dewanti atau yang dikenal dengan Mak Oney bilang, "semua jenis tulisan itu selalu ada hikmah dan ada pelajaran didalamnya."

Kalau menurut pendapat kita tulisan yang kita nggak baca nggak bagus. Berarti kita jangan menulis seperti itu dan kita harus lebih baik menulisnya dibanding penulis yang kita baca itu.

Jadi yang nggak book shaming itu kayak gimana? Nanti kalau mau mereview buku, terus pendapat kita ada menjelek-jelekan isi buku, dibilang book shaming.

Itu salah satu pertanyaan dari penonton IG live TV yang sampai hari ketiga ini, telah mencapai penonton hampir 800 orang.

Haris pun menjawab, selama kita mengeluarkan pendapat tentang isi buku yang kita baca sendiri tanpa menjelekkan preferensi bacaan orang lain Baik itu kekurangan atau ketidaksukaan terhadap bacaan tersebut. Tindakan itu bukanlah book shaming.

Mereview buku memang seperti itu. Kita mengeluarkan pendapat secara subjektif. Mengkritik, mengeluarkan pendapat, lalu memberi saran.

Talk show yang berlangsung hampir satu jam berjalan seru menurutku. Nggak terasa meski setrikaan nggak kelar. Tapi lumayan mengurangi rasa lelah.

Oh iya, silakan Sahabat Desi's Corner mengunjungi IG iPusnas untuk acara talk show berikutnya. Mereka rutin mengadakan talk show dengan tema-tema menarik seputar dunia literasi.

Semoga hasil talk show tentang review buku untuk pemula ini, bermanfaat bagi Sahabat Desi's corner yang baru mau memulai mereview buku kayak aku.


2 comments:

  1. Mencatat poin penting kadang tuh lupa karena keasyikan baca bukunya. Alhasil waktu mau review harus buka buknya lagi :D

    ReplyDelete
  2. Tos samaan, kalau lagi seru bacanya, nggak kepikiran buat ditulis. :)

    ReplyDelete