Saturday, July 11, 2020

Cinta yang Tak Pernah Bertepuk Sebelah Tangan

Perkenalanku tidak sengaja dengannya. Kalau melihat keadaan keluargaku, mana bisa aku mengenalnya kalau tidak lewat mak comblang. Mereka kan kalangan atas. Hanya dapat disentuh oleh strata tinggi.

Senang bukan alang kepalang ketika aku tenggelam dalam huruf-huruf yang terangkai indah. Terlebih bila disertai gambar menarik yang berwarna-warni. Dari awal mula itulah aku menyukai mereka.

Ketika menginjak sekolah pertama aku bertemu kembali dengannya. Bila sebelumnya aku bergaul dengan mereka kalau liburan sekolah tiba. Di sekolah pertama ini aku dapat bertemu mereka kapan saja aku mau. Serasa memiliki dunia baru.

Dan dunia baru itu pun berlanjut hingga sekarang. Bahkan aku dapat menciptakan dunia tersebut di rumah. Mereka berbaris rapi di rak. Ada rasa bangga karena dapat memiliki mereka.

Duniaku bertambah luas ketika era digital hadir. Aku dapat menikmati mereka dengan mudah tanpa perlu memiliki secara fisik. Aku makin tenggelam didalamnya.

Bila awal perkenalan aku mengenal Sleeping Beauty, Bobo, Tintin, Asterix, Mimin, Si Kuncung, dan lainnya yang tidak kuingat. Maka di sekolah pertama aku mengenal Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan Tom Sawyer.

Sepertinya di sekolah pertama itulah aku mencintai dunia sastra. Meski mereka yang berisi tentang petualangan seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, atau Malory Towers adalah hal yang kusuka seperti halnya sastra.

Aku percaya bahwa setiap mereka yang aku baca. Pasti meninggalkan kesan yang berbeda. Karena mereka mempunyai ciri khas masing-masing.

Dari sekian banyak penulis buku, terus terang aku sukar untuk memilihnya. Mungkin saat ini Ahmad Tohari menempati posisi teratas. Entah esok atau lusa apakah ia masih berada diposisi teratas atau tidak.

Apakah tulisan beliau menjadikannya buku favorit? Bisa jadi. Untuk sementara.

Dari buku Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah. Aku menyukai Ronggeng Dukuh Paruk. Padahal mereka sudah kubaca kurang lebih dua tahun yang lalu.

Meski yang kuingat tidak banyak. Tapi nasib tragis tokoh utama perempuan bernama Srintil cukup meninggalkan kesan iba yang dapat kurasa. Terlebih deskripsi alam diceritakan sangat detail oleh sang penulis buku. Seperti dukuh dimana Srintil tinggal, asal-usul ia bisa menjadi ronggeng, kandasnya cinta karena tidak tersampaikan, tobatnya Srintil ingin berhenti menjadi ronggeng, sampai akhinya semua tidak sesuai harapan. Ia pun berakhir di rumah sakit jiwa. 








No comments:

Post a Comment