Saturday, November 21, 2020

Kisah yang Tertinggal di Wonogiri, Gunung Kidul

Idul Fitri tahun 2019 lalu, aku mengunjungi tempat tinggal almarhum Mbah dari suami. Mbah yang tinggal di Wonogiri, Gunung Kidul. 


Beberapa bulan sebelum hari raya, Mbah berpulang. 


Jadi, ceritanya aku dan suami beserta keluarga dari suami, mau ziarah ke makam Mbah. Sekaligus bersilaturahmi dengan kakak dan adik bapak mertua. 


Seperti perjalanan pulang kampung sebelumnya. Kami, ibu, bapak, keponakan, dan dua adik ipar. Berangkat dari Bekasi setelah salat Id. 


Baca Juga: Lebaran 50:50


Berjumlah dua mobil, kami mengambil jalur selatan menuju kampung Mbah. 


Bersyukur sarana jalan tol sudah ada. Jadi, dari mulai Bekasi sampai Solo kami tempuh dalam waktu kurang lebih 10 jam. 


Setelah keluar tol Solo, kami harus menempuh dua jam lagi, untuk mencapai kediaman Mbah. 


Pegel? Pastinya. Kami beberapa kali berhenti untuk beristirahat. Entah untuk makan siang, mengisi bahan bakar, atau buang air kecil. 


Maklum, masing-masing mobil nggak ada supir pengganti. Malahan terkadang kami berhenti di perjalanan, hanya untuk memejamkan mata barang sebentar. 


Kalau agak lama sampainya dari yang ditargetkan.Ya, karena itu tadi. 


Kami mengutamakan keselamatan daripada kecepatan sampai di tujuan. 


Terlebih untuk melalui tol Cipali membutuhkan stamina tubuh yang fit. Juga konsentrasi penuh. 


Keadaan jalan tol Cipali sungguh amat berbahaya. 


Jalan yang landai dan lurus. Cuaca terik siang hari. Kiri dan kanan jalan yang hanya ditumbuhi pohon-pohon pendek. 


Rasanya nggak seimbang dengan curah matahari yang berlimpah. Saking panasnya, aku bisa melihat gelombang panas  jauh di depan kendaraan. 


Sebagai navigator, aku harus sama mawas dirinya dengan suami yang mengendarai mobil. 


Biar mata ngantuk karena jalan yang enak seperti diayun-ayun. Aku harus mengajak suami ngobrol. Biar dia tetap konsentrasi dan fokus mengendarai mobil. 


Sedangkan kakak yang duduk dibelakang. Terlihat sedang menikmati perjalanan panjang kami. 


Wonogiri, Gunung Kidul


Lama perjalanan bertambah kurang lebih dua jam. Ini dikarenakan kami lebih sering beristirahat untuk melepas lelah.


Seharusnya, sih, kami tiba di rumah Mbah pukul sepuluh.


Keluar tol Solo. Kami beristirahat di sebuah warung bakso pinggir jalan. Saat itu waktu menunjukkan pukul sebelas malam. 


Kami melanjutkan perjalanan setelah perut terisi. Lelah memang belum hilang. 


Tapi angin tengah malam yang dingin. Memberi kesejukan pada wajahku dari celah kaca mobil. Kaca mobil yang kubuka tidak terlalu lebar. 


Rumah Mbah berada di Dusun Kacangan, Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri, Gunung Kidul. 


Jalan ke arah rumah Mbah mendaki. Rumah Mbah terletak di atas gunung berbatu. 


Jalan yang kami lalui adalah jalanan berbatu. Dengan sedikit semen untuk roda mobil. 


Penerangan jalan pun hanya bersumber dari rumah penduduk. 


Ketika melewati jembatan. Kami hanya mengandalkan cahaya lampu mobil. 


Terlihat sawah luas membentang di sebelah kiri dari kendaraan kami. Sejauh mata memandang, hanya hitam kelam yang tampak. 


Malam itu tidak ada bulan. Hanya cahaya bintang yang menerangi langit. 


Matahari Pagi dari Rumah Mbah


Kurang lebih pukul satu dini hari, kami tiba di rumah Mbah. 


Adik dari bapak mertua yang sekarang menempati rumah Mbah sudah menyiapkan tikar, bantal, dan sarung sebagai selimut. 


Lumayan dingin udara di malam hari itu. Hmm, sepertinya dua malam berikutnya masih dingin, deh. Kan, rumahnya ada di atas gunung. 


Nggak tahu kenapa, lelah dan kantuk hilang seketika. Padahal tubuh teramat lelah setelah lebih dari 12 jam di perjalanan. 


Kupaksa mataku untuk terpejam. Sia-sia. Mataku terbuka kembali. 


Ditemani dengkur halus dari tubuh suami yang benar-benar lelah. Kakak di sebelah kananku pun terlihat lelap. 


Keponakan, ibu dan bapak mertua, adik ipar perempuanku. Kami semua tidur di satu ruangan tengah yang luas. Di atas tikar yang digelar di atas lantai. 


Detik jam di dinding seirama dengan tarikan nafasku. Entah kapan mata ini terpejam. Hingga tidak terasa. Akhirnya aku terbangun karena sudah memasuki waktu subuh.


Dingin air mengalir dari wajahku yang tersiram air. Pikirku melayang ketika selesai mengucapkan doa setelah wudhu. 


Aku ingin melihat matahari terbit. 


Wonogiri, Gunung Kidul
Foto: Matahari terbit dari rumah Mbah


Hmm, sepertinya penyebab semalam aku susah tidur terjawab sudah. Ternyata aku ingin segera pagi menjelang. Agar aku bisa melihat sinar muncul dari ufuk timur. 


Sarapan


Aku membantu Bule membuat air panas untuk menyeduh teh. Teh khas Wonogiri memang rasanya enak. Beda dengan yang biasa aku beli dari supermarket. 


Sayang, aku lupa tanya merek tehnya apa, ya. 


Setelah diseduh, teh tubruk itu menjadi berwarna coklat agak kehitaman. Seperti kopi, warnanya menjadi pekat. 


Pahitnya teh ditutupi dengan manisnya gula. Meski pahit, aku suka. Aku kecanduan. 


Bahkan di siang harinya, aku malah menambah es batu ke dalam teh pahit itu 


Tidak lama sepupu suami datang membawa nasi kucing. Akhirnya aku bisa mencoba nasi kucing asli. Bukan yang biasa kutemui di Bekasi. 


Porsi nasinya nggak banyak. Pas buat dimakan sebagai sarapan. 


Dengan dibungkus daun jati. Nasi yang berlauk mie goreng, tempe mendoan, dan urap. Menambah selera makanku. 


Benar-benar pengalaman pertama yang membuatku jatuh cinta pada nasi kucing ini. 


Aroma daun jatinya memang jadi sensasi tersendiri ketika menyantap isinya. 


Air


Selesai sarapan, kami antri untuk mandi. 


Air yang mengalir melalui selang dari gunung, tidak sekencang air keran di rumah. 


Kami harus benar-benar bisa mandi dengan menggunakan air sehemat mungkin. 


Kamar mandinya tidak besar. Begitu juga dengan bak mandinya. 


Tinggi bak mandi hanya setinggi paha orang dewasa. Mungkin bila air baknya penuh. Hanya dapat dipakai untuk mandi dua orang dewasa saja. 


Setelah itu, bila ada yang mau mandi lagi. Harus menunggu, sampai bak yang dilapisi semen tersebut, cukup untuk mandi. 


Air yang mengalir dari gunung adalah hasil swadaya masyarakat sekitar. 


Mereka membayar iuran bulanan kurang lebih tidak sampai lima puluh ribu rupiah untuk air tersebut. 


Uang itu digunakan untuk pemeliharaan mesin air yang mereka beli secara gotong royong. 

Mesin Air
Foto: Mesin genset air yang dibuat secara swadaya oleh masyarakat

Air pun dibagi secara bergilir agar pembagiannya merata. 


Sehingga menjelang sore, aku membantu menampung air. Tampungan air yang digunakan adalah tong air, jerigen, sampai galon air mineral. 


Menampung air di Wonogiri

Foto: Tampungan air dan kamar mandi


Kurang lebih menjelang magrib. Aliran air mati. Dan akan mengalir lagi menjelang waktu subuh. 


Makan Siang


Hari itu, kami tidak ada rencana keluar desa. Setelah makan siang, kami berencana untuk mengeksplor desa Mbah. 


Rumah semi joglo, karena bangunan rumah kayunya sudah nggak ada kolongnya. 


Ayam kampung siap masak yang belum lama di potong. Singkong yang baru saja dipetik. Serta kayu bakar yang siap digunakan untuk memasak. 


Baca Juga: Suami-Suami Tetangga


Aku jongkok dengan tangan sibuk mengupas kulit singkong. Sesekali melihat api. Apakah kayu di tungku perlu ditambah kayu? Atau jangan-jangan bara api padam?


Dapur berlantai tanah dengan dua tungku menyala. Juga sebuah kompor gas. Membuat ruangan dapur diselimuti asap putih dan sesekali hitam. 


Aroma uap nasi dan kayu terbakar, sungguh membuat hatiku senang. Mungkin lilin aroma terapi kalah dengan yang sedang kunikmati saat itu. 

Kumpul makan siang, gunung kidul

Foto: Makan siang bersama keluarga

Ziarah Makam


Siang itu kami berziarah ke makam Mbah. Makamnya tidak jauh dari rumah Mbah. Perjalanan ditempuh hanya lima belas menit dengan berjalan kaki santai. 


Bunga-bunga liar yang kupetik di sekitar rumah Mbah. Mawar, soka, daun pandan, dan bunga-bunga yang aku sendiri nggak tahu namanya. Kubawa dalam kantong plastik beserta air. 


Jalan yang kulalui pada siang hari sungguh berbeda dengan malam hari. Malam hari dingin sampai memerlukan sarung untuk menyelimuti tubuh. 


Sedangkan siang hari, begitu panas dan terik. Hmm, seperti di padang pasir gitu cuacanya. 


Gunung batu tandus di belakang rumah Mbah, terlihat seperti memantulkan panas. Sebagian sawah terlihat kering. Sebagian lagi dibiarkan rumput liar tumbuh. 


Tapi sawah hijaunya masih terlihat, meski nggak banyak. Cukuplah buat menyegarkan mata. 


Di daerah Gunung Kidul memang dikenal susah air. Mereka mengusahakan air dengan genset. Tapi nggak semua petani punya genset karena harganya mahal. 


Beruntung sawah milik Mbah dekat dengan gunung. Di sana air lebih mudah didapat dibanding sawah yang berada di lokasi bawah, jauh dari gunung. 


Makam Mbah masih berbentuk gundukan tanah dengan payung yang didirikan dekat nisan. 

Ziarah makam

Kami duduk memutari makam Mbah untuk memberi doa. Menabur bunga dan membasahi makam dengan air yang kami bawa. 


Makam itu adalah makam penduduk sekitar. Tapi jumlahnya nggak banyak karena areanya memang nggak besar. 


Masih di lokasi yang sama. Setelah dari makam Mbah. Kami berziarah ke makam saudara-saudara bapak dan orang tua Mbah. 


Seperti makam, adiknya bapak, kakek, dan entah siapa lagi. Aku tidak hafal, karena tulisan di batu nisannya sudah agak pudar. 


Keliling Dusun


Kapan lagi bisa keliling dusun dimana kita mengenal sebagian warganya?


Eh, salah, deng. Bapak yang kenal mereka. Aku, mah, nggak kenal mereka. Kecuali saudara-saudara bapak.  


Aku dan suami menyusuri jalan menuju sawah bapak yang ada di dekat gunung.


Sesekali bertemu warga yang hendak pergi ke sawah atau akan mengambil rumput untuk makanan sapi.


Senyum mereka begitu ramah. Sinar matanya terlihat senang melihat kami. Lalu ada yang menyapa dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh suami.


Suami bilang, kalian dari kota mana? Dari keluarga siapa?


Lalu mereka menangguk dan berlalu setelah memberi senyum ramah kembali.


Di dusun bapak, sebagian besar anak-anaknya merantau ke kota besar.


Lalu dengan swadaya masyarakat. Anak-anak yang merantau tersebut membangun jalan dan penerangan lampu.


Baca Juga : Suami Istri Mah Gitu

Ternyata bukan rumah Mbah aja yang punya sapi di depan rumah. Rumah warga yang lain juga sama. Punya sapi yang kandangnya dibangun di depan rumah.


Suami bilang, beternak sapi lumayan menguntungkan bila sawah mengalami gagal panen. 


Aku dan suami saling berfoto ria dengan lepas. Suasana desa sungguh amat jauh berbeda dengan kota. 


Keliling dusun Kacangan
Foto: Keliling dusun

Tidak disangka, tahun berikutnya yaitu tahun 2020 ini. Kami tidak bisa pulang ke kampung bapak untuk bersilaturahmi. 


COVID-19 datang berkunjung. Hingga hampir setahun kami pun tidak bisa pergi ke luar kota. 


Baca Juga: Pandemi Datang Gaptek Hilang


Semoga kami diberi rezeki umur. Untuk berkunjung kembali ke tanah kelahiran bapak di Wonogiri, Gunung Kidul. 

6 comments:

  1. Ngalir banget tulisannya mbak. Rasanya kayak baca cerita

    ReplyDelete
  2. Amien, next time klo ke Jogja. Semoga bisa ketemuan ya mbakkk

    ReplyDelete
  3. Serasa masih damai dan tenang suasananya 😊

    ReplyDelete
  4. Wah, kehidupan pedesaan memang beda sensasinya

    ReplyDelete
  5. Kalau suasana desa mah asri gitu ya mbak , cocok buat recharge otak

    ReplyDelete
  6. Mba, aku jadi merasa seakan-akan ikut jalan-jalan ke kampun Mbahnya.. Adem banget ya kalau tinggal di kampung. Pikiran tenang, ga sumpek

    ReplyDelete